Sengsara Membawa Nikmat
Banyak orang yang diuji dengan kekayaan, ada pula yang diuji dengan kefakirannya. Ada yang diuji dengan kekuasaan yang dia miliki, dengan kecantikan, kepandaian dan lain sebagainya.
Kadang kala orang itu lulus ketika diuji dengan kekayaan. Artinya
dengan harta, ia jadikan media untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan
kekayaan, ia tekun beribadah, berpuasa, membayar zakat dan lain sebagainya.
Namun tatkala Allah mengujinya dengan
kefakiran, ia menjadi kufur dan semakin
menjauh dari Allah. Dalam kitab Mizan Al-I’tidal fi Nadqir Al-Rijal
disebutkan sebuah hadis :
"Hampir
saja kefakiran itu menjadi kekufuran".
Namun sering juga kejadian sebaliknya, artinya
ketika seorang fakir dia selalu taat kepada Allah, namun tatkala Allah mencobanya
dengan kekayaan dia selalu berfoya-foya dan meninggalkan ibadah, lupa akan Yang
Maha Memberikan kekayaan tersebut.
Wahai saudaraku! Memang kefakiran merupakan
cobaan berat bagi seseorang. Disaat orang lain bersenang-senang dengan kekayaan
dan serba kecukupan, sementara ia harus mencari sesuap nasi untuk hari itu.
Kadang kala banyak di antara mereka yang tidak sempat memikirkan bagaimana
indahnya memakai pakaian baru, karena di dalam benaknya hanya: “bagaimana aku
harus mempertahankan hidupku hari ini?” “apakah disana ada sisa-sisa makanan
yang dibuang orang, yang mungkin bisa aku makan?”. Jangankan berpikiran untuk
naik kendaraan yang mewah, tempat tinggal pun tidak sempat mereka pikirkan.
Rumah beratap awan, berdinding kulit, air sepanjang jalan. Tak jarang pula
harus menerima makian, cercaan dan hinaan dari orang lain. Banyak orang yang
tidak senang melihat mereka yang hidup sengsara itu. Bukan rasa kasihan yang
mereka nampakkan, namun kebengisan, kejam yang mereka tonjolkan.
Ditengah-tengah
kehidupan yang sedemikian rupa, masih ada hamba Allah yang mampu berpikir
jernih. Ia berpendapat : “Sengsara apapun yang dihadapi dalam hidup ini tidak
lebih enam puluh tahun, atau seratus tahun, penderitaan kelak, tidak ada batas
waktu, tapi bersifat abadi, biarkan aku sabar kepedihan sementara yang
menyongsong kelak bahagia”.
Dengan
demikian, ia terus beribadah walaupun dibawah jembatan, ditengah padang luas,
dengan bercucuran air mata, ia menghadap Dzat Yang Maha Kuasa, seraya berkata :
“Aku ridha dengan pemberian-Mu ya Allah, sesungguhnya kesengsaraan dunia ini
tidak seberapa, kalau dibandingkan azab-Mu di neraka.”
Di
waktu malam, ia bangun, shalat tahajjud seraya memohon dikuat iman dan
pendiriannya untuk selalu taat kepada Allah. Tak sedikitpun dipalingkan setan
untuk mengkufuri Rabbnya.
Hari tua pun tiba, setelah ia habiskan
kehidupan dunia ini, rupanya Allah hendak memanggilnya. Dihari yang telah
ditentukan itu, datanglah malaikat pencabut nyawa kepadanya dengan perintah
Ilahi. Ia pun merasa tenang karena ia merasa tidak banyak beban yang
dipikulnya. Dia bukanlah orang kaya yang harus mempertanggung jawabkan
kekayaannya, bukan pula seorang pemimpin yang harus mempertanggungjawab akan
kekuasaannya.
Kembalilah kepada Allah dengan jiwa
yang tenang, sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran :
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah
ke dalam syurga-Ku. (QS. al-Fajr: 27-30)
Oleh karena itu, wahai saudaraku hendaklah
kita berusaha untuk mencapai husnul khatimah, dalam kondisi apapun kita, apakah
kita seorang miskin, kaya, pemimpin, pengusaha atau lainnya.
Camkanlah
apa yang dikatakan oleh Hatim al-Asham. Ia berkata bahwa ada 4 hal yang
ukurannya hanya diketahui oleh 4 golongan, yaitu :
a. Masa muda tak terasa nikmatnya, kecuali oleh mereka yang sudah tua.
b. Keselamatan tak terasa nikmatnya, kecuali oleh mereka yang terkena musibah.
c. Kesehatan badan tak terasa nikmatnya, kecuali oleh mereka yang sudah jatuh sakit.
d. Hidup tak terasa nikmatnya, kecuali oleh mereka yang sudah mati.
By: Dr. Fauzi Saleh, MA
thank nice infonya sangat bermanfaat, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2QMOMxw
BalasHapus