Sukuk Ijarah pada Bank Syariah
1. Pengertian Sukuk Ijarah dan Landasan Hukumnya
1.1. Pengertian Sukuk Ijarah
Sukuk berasal dari bahasa Arab yaitu
shak ( (صكjamaknya shukūk (صكوك) atau shikāk (صكاك)
yang artinya dokumen
atau piagam.[1] Dan bisa juga
bermakna percetakan atau menempa sehingga kalau dikatakan sakkan nuqud bermakna
pencetakan atau penempahan uang.[2]
Kata-kata shak, shukūk atau shikāk dapat ditelusuri dengan mudah pada
literatur Islam komersial klasik. Kata-kata tersebut terutama secara umum
digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim pada abad
pertengahan,
bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer pengiriman uang) dan mudharabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi, sejumlah penulis barat tentang sejarah perdagangan Islam atau Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata shak merupakan kata dari suara latin “cheque” atau check yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer.[3]
bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer pengiriman uang) dan mudharabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi, sejumlah penulis barat tentang sejarah perdagangan Islam atau Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata shak merupakan kata dari suara latin “cheque” atau check yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer.[3]
Accounting and
auditing organization for Islamic financial institutions (AAOIFI)
mendefenisikan sukuk sebagai berikut:
Certificates of ownnership of a
pool of underlying assets, in which the certifites are equal of value, issued
with the aim of using the mobilized funds for establising a new project,
developing an existing project, or financing a business activity as per their
respective shares.[4]
Secara singkat defenisi sukuk menurut AAOIFI adalah sebagai sertifikat bernilai
sama yang merupakan bukti kepemilikan yang dibagikan atas suatu aset, hak
manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi
tertentu.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti kepemilikan atas
barang itu sendiri.[5]
Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.[6]
Ijarah terbagi
kepada dua, yaitu:
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang
dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir,
sedangkan pihak pekerja disebut ‘ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak
untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan
biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa-beli)
pada konvensional. Pihak yang menyewa disebut musta’jir, pihak yang
menyewakan disebut mu’jir dan biaya sewa disebut ujrah.[7]
Sedangkan sukuk ijarah adalah sekuritas yang
mewakili kepemilikan aset yang keberadaaannya jelas dan diketahui, yang melekat
pada suatu kontrak sewa beli (lease), sewa di mana pembayaran return pada pemegang sukuk.[8]
Sukuk ijarah merupakan sertifikat sukuk yang dikeluarkan
berdasarkan aset-aset tertentu yang sah mempunyai nilai ekonomis, terdiri dari
tanah, bangunan dan barang-barang lain yang termasuk dalam aset yang berharga.
Bentuk sukuk ijarah terdiri dari:
a.
Tangiable
asset di mana investor memiliki bagian dari aset
dan pendapatan yang berhubungan dengan ijarah.
b.
Kepentingan
yang bermanfaat bagi investor mendapatkan hak sewa atas aset yang dengan
kontrak sukuk dapat memperoleh manfaat al-ijarah.[9]
Sukuk ijarah didasarkan pada kontrak ijarah
atau
sewa guna usaha dan tunduk pada persyaratan tertentu agar sah untuk disekuritisasikan. Terdapat
beberapa syarat pada sukuk ijarah di antaranya:
1.
Kontrak sewa yang mendasarinya harus sesuai dengan
prinsip syariah, yang bisa jadi berbeda dari bentuk syarat dan ketentuan yang
berlaku dalam kesepakatan sewa guna usaha finansial konvensional.
2.
Aset yang disewakan harus memiliki kegunaan yang
menguntungkan bagi pengguna, yang menjadi alasan mereka membayar sewa.
3.
Aset yang disewakan harus memenuhi karakteristik
yang menjadikan penggunaannya benar-benar sesuai syariah. Sebagai contoh menyewakan gedung kasino atau peternakan babi tidak
diperbolehkan dalam syariat.[10]
Sukuk ijarah merupakan sukuk yang
diterbitkan berdasarkan perjanjian, di mana satu pihak bertindak sendiri atau
wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain
berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan aset itu sendiri.
Sukuk ijarah merupakan produk yang
terakhir yang tumbuh dengan cepat dalam pasar modal. Permintaan
yang tinggi oleh investor dan institusi pembiayaan Islam menyebabkan sukuk
ijarah ini semakin berkembang. Di sisi supply juga telah banyak negara
yang mendapatkan keuntungan dalam meningkatkan sumber dana dari keperluan
fiskal dan pembiayaan jangka panjang terhadap proyek-proyek pembangunan yang
besar.[11]
2.1.2. Landasan Hukum Sukuk Ijarah
Kontrak ijarah haruslah sesuai dengan
al-Qur’an dan al-Sunnah, para ulama tidak berselisih tentang hukum kebolehan
kontrak ijarah ini. Ijarah telah dibenarkan oleh al-Qur’an, al-sunnah, ijma’ ulama[12] dan ‘urf [13]. Ulama mazhab telah mengkajinya secara mendalam sehingga para mujtahid
tidak menemukan kontrak ijarah bertentangan dengan syara’. Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah
adalah terdapat dalam surah
al-Qashash ayat 26:
Artinya: salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya.
(QS. al-Qashash : 26)
Wahbah al-Zulhaili menjelaskan tentang ayat di atas dalam
tafsirnya al-Munir bahwa ayat tersebut merupakan dalil tentang pensyariatan ijarah.
Di mana konsep ijarah (sewa) merupakan sesuatu yang disyariatkan pada
setiap agama, tidak hanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, karena ijarah
sesuatu yang diperlukan oleh manusia dan juga mempunyai maslahah bagi manusia.[14]
Sedangkan dalil
pensyariatan ijarah yang terdapat dalam hadis adalah hadis tentang
memberikan upah kepada tukang bekam:
عن
ابن عباس رضي الله عنهما قال احتجم النبي صلي الله عليه و سلم و أعطى الحجام اجره. (رواه البخاري)
Artinya
: dari Ibn Abbas ra berkata: Nabi saw berbekam, kemudian beliau
memberikan upahnya kepada tukang bekam. (H.R. Bukhari)[15]
Para ulama klasik belum
membahas secara detail masalah sukuk, keterangan mengenai sukuk hanya sedikit
dibahas dalam kitab fiqh mazhab Hanafi dan Syafi’i. Dalam pandangan fiqh Hanafi
sebagaimana yang disampaikan muridnya, Abu Yusuf, dalam memberikan komentar
tentang membeli barang yang belum dimiliki, bahwa beliau berpendapat bahwa
tidak ada halangan bagi shak (jual beli property real) sebelum
dimiliki penjual, hal ini tidak perlu diterangkan secara detail karena sudah
menjadi suatu kebiasaan mereka dalam aktivitas pengalihan harta. Imam Malik juga
membolehkan yang demikian untuk dilakukan.[16]
Sedangkan mazhab
Syafi’i menyebutkan bahwa hawalah tidak berbeda dengan shak (sukuk),
maksudnya hawalah berhubungan dengan penyelesaian utang yang dilakukan
dalam bentuk dan jumlah serta ukuran yang sama, sedangkan penyelesaian utang
yang dilakukan bukan atas dasar pertolongan termasuk dalam kategori riba. Namun
secara eksplisit peranan yang terdapat dalam pelaksanaan sukuk telah dibahas
dasar-dasarnya dalam berbagai kitab fiqh. Pemahaman fiqh lebih terfokus pada
peranan sukuk yang merupakan suatu akad kerja sama terhadap pengambilan
keuntungan dari obyek akad.[17]
Landasan hukum
sukuk yang terdapat dalam undang-undang dan fatwa Dewan Syariah Nasional adalah sebagai berikut :
a.
Undang-undang
No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, antara lain mengatur
hal-hal sebagai berikut:
1.
Pasal 1 ayat (1), Surat
Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat
disebut Sukuk Negara, adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap Aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
2.
Pasal 5
ayat (2), Menteri Keuangan berwenang untuk melaksanakan penerbitan Surat
Berharga Syariah Negara.
3.
Pasal 6
ayat (1), penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dapat dilaksanakan secara
langsung oleh pemerintah atau melalui perusahaan penerbit Surat Berharga Syariah
Negara.
4.
Pasal 9 ayat (2),
pemerintah wajib membayar imbalan dan nilai nominal Surat Berharga Syariah
Negara pada saat jatuh tempo.
5.
Pasal 9
ayat (3), dana untuk pembayaran imbalan nilai nominal Surat Berharga Syariah
Negara disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap
tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
6.
Pasal 10 ayat (1), barang milik negara dapat
digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya barang milik negara dimaksud
disebut sebagai Aset SBSN.[18]
b.
Fatwa NO:
41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syari’ah Ijarah, antara lain mengatur
hal-hal sebagai berikut:[19]
1. Akad yang digunakan dalam Obligasi
Syariah Ijarah adalah ijarah.
2. Obyek ijarah
harus berupa manfaat yang dibolehkan.
3. Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh
bertentangan dengan syariah.
4. Emiten dalam kedudukannya sebagai
penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk aset yang telah ada maupun aset
yang akan diadakan untuk disewakan.
c.
Fatwa NO:
69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.
Aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik
negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan,
maupun selain tanah dan/atau bangunan yang dalam rangka penerbitan SBSN
dijadikan dasar penerbitan SBSN.
2.
Imbalan adalah semua pembayaran yang diberikan kepada pemegang
SBSN yang dapat berupa ujrah (uang sewa), bagi hasil, atau bentuk
pembayaran lain sesuai dengan akad yang digunakan sampai dengan jatuh tempo
SBSN.
3. SBSN dapat diterbitkan
secara langsung oleh pemerintah atau melalui perusahaan penerbit SBSN.
4. Pemerintah wajib membayar imbalan serta
nilai nominal atau dana SBSN
kepada pemegang SBSN pada saat jatuh tempo sesuai akad yang digunakan.[20]
d.
Fatwa No
71/DSN-MUI/IV2008 tentang akad sale and lease back, antara lain mengatur
hal-hal sebagai berikut:
1. Akad yang digunakan adalah bai' dan
ijarah
yang dilaksanakan secara terpisah.
2. Dalam akad bai',
pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya aset yang
dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
3. Akad ijarah baru
dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang akan dijadikan sebagai
obyek ijarah.[21]
e.
Fatwa No:
72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara ijarah sale
and lease back, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerintah menjual aset yang akan
dijadikan obyek ijarah kepada perusahaan penerbit SBSN atau pihak lain
melalui wakilnya yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk menjual kembali aset
yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
2. Pemerintah atau perusahaan penerbit SBSN
menerbitkan SBSN sebagai bukti atas bagian kepemilikan obyek ijarah,
yang dibeli oleh investor pada tingkat harga tertentu sesuai kesepakatan.
3. Pemerintah menyewa obyek ijarah
dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada pemegang SBSN selama jangka
waktu SBSN.[22]
f.
Fatwa No:
76/DSN-MUI/ VI/2010 tentang SBSN ijarah asset to be leased, antara lain
mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.
Semua
rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah, berlaku pula dalam akad ijarah asset to be leased.
2.
Hak dan
kewajiban para pihak harus dijelaskan dalam akad.
3.
Pemerintah
dapat mengalihkan kepemilikan hak atas sebagian aset yang akan dijadikan obyek ijarah
asset to be leased kepada perusahaan penerbit SBSN atau pihak lain melalui
wakilnya yang ditunjuk.
4.
Pemerintah atau perusahaan penerbit SBSN
menerbitkan SBSN sebagai bukti kepemilikan atas bagian dari obyek ijarah
asset to be leased yang dibeli oleh investor pada harga tertentu sesuai
kesepakatan.
5.
Pemerintah atau pihak lainnya menyewa obyek ijarah
asset to be leased dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada pemegang
SBSN secara periodik maupun sekaligus sesuai kesepakatan selama jangka waktu
SBSN berdasarkan masa sewa.[23]
2. Rukun dan Syarat Sukuk
Ijarah
Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah
baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang
berlaku secara umum dalam transaksi lainnya.
Ulama berbeda pendapat tentang rukun dalam akad ijarah.
Menurut ulama Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu, yaitu: ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi
jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu: dua
belah pihak yang berakad, sighat (ijab dan qabul), sewa/imbalan (ujrah),
dan hak pakai (manfaat). Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad,
sewa/imbalan dan manfaat termasuk syarat-syarat ijarah bukan rukunnya.[24]
Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:
1.
Dua belah
pihak yang mengadakan akad menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan
telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu apabila orang yang belum baligh dan
tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka akad ijarah-nya tidak sah.
Akan tetapi, Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang
itu tidak harus mencapai usia baligh dan dianggap sah apabila telah disetujui
oleh walinya.[25]
2.
Sighat (ijab qabul sebagai manifestasi dari
perasaan suka sama suka, dengan catatan keduanya terdapat kecocokan atau
kesesuaian. Menurut pendapat yang ashah, ijarah sah dengan ucapan, “aku
menyewakan manfaat barang ini kepadamu” dan tidak sah dengan redaksi “aku jual
manfaat barang ini kepadamu”. Karena istilah “jual beli” digunakan untuk
mengalihkan hak kepemilikan atas barang, tidak berlaku dalam pengalihan
manfaat. Sebaliknya jual beli pun tidak sah dengan redaksi ijarah.[26]
3.
Imbalan (ujrah) dalam hal sewa-menyewa
barang yang berwujud (ijarah ‘ain) disyaratkan upah harus diketahui
jenis, kadar, dan sifatnya, layaknya harga dalam akad jual beli. Karena ijarah
merupakan akad yang berorientasi keuntungan, yaitu tidak sah menyebutkan nilai
kempensasi layaknya jual beli. Apabila imbalan tersebut berupa barang yang
berwujud, musta’jir cukup dengan melihatnya, meskipun itu diperuntukkan
sebagai kompensasi manfaat tertentu atau dalam bentuk tanggungan. Serah terima ujrah
dalam sewa menyewa barang secara langsung tidak wajib dilakukan di tempat akad.
Berbeda dengan akad ijarah dalam bentuk tanggungan. Dengan demikian musta’jir
berhak atas hak guna pakai barang yang telah disepakati dalam akad. [27]
4.
Manfaat yang menjadi obyek ijarah
harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian
hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek ijarah tidak
jelas maka akadnya tidak sah.
5.
Obyek al-ijarah boleh
diserahkan atau dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Oleh sebab
itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu
yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.[28]
6.
Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan
oleh syara’. Seperti menyewa seseorang untuk membunuh orang lain tanpa
hak, maka akad ijarah-nya tidak sah, karena membunuh seseorang tanpa hak
merupakan diharamkan oleh syara’.
7.
Yang
disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa seseorang
untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa, maka sewa-menyewa seperti ini
tidak sah.
8. Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang
biasa disewakan, seperti rumah, mobil dan lainnya.[29]
3.
Sukuk Ijarah pada Perbankan Syariah
Sukuk ijarah merupakan sekuritas yang
mewakili kepemilikan aset yang keberadaannya jelas dan diketahui. Dalam kontrak
ijarah penting bahwa baik aset yang disewa beli dan jumlah yang disewa
diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang terkait pada saat kontrak.[30] Dalam
akad ijarah, obyek ijarah dapat berupa manfaat aset dan
pembayaran sewa atau manfaat jasa dan pembayaran upah.
Ijarah termasuk ke
dalam kontrak jual tukar-menukar (al-mu’awadat) dan sama dengan
kontrak jual beli manfaat. Pertukaran uang dengan sewa pekerjaan menghasilkan
upah, pertukaran uang dengan manfaat aset (sewa manfaat benda) dan menukarkan
suatu manfaat lainnya dapat menghasilkan keuntungan sewa.
Disebabkan ijarah telah menjadi
suatu bentuk aktivitas ekonomi, terutama dalam dunia modern, maka telah terjadi
perubahan teknis pada kontrak ijarah, meskipun asasnya secara umum tidak
berubah. Pakar ekonomi telah mengembangkan kontrak ijarah yang lebih
atraktif, yang sesuai dengan kaidah fiqh serta menyesuaikannya dengan mekanisme
pasar yang relevan dengan kontrak pembiayaan modern.
Pakar ekonomi juga telah mengembangkan
teori ijarah dalam bentuk perbankan dan pasar modal. Kontrak ijarah
yang dikembangkan dalam bentuk pasar modal lebih dikenal dengan sukuk ijarah (Islamic
leasing certificates).
Sukuk ijarah adalah sertifikat sukuk yang
dikeluarkan berdasarkan aset-aset tertentu yang sah mempunyai nilai ekonomis,
terdiri dari petak tanah, bangunan dan barang-barang lain yang masuk dalam aset
yang berharga. Nilai keuntungan sewa terhadap sukuk ini dapat berbentuk tetap
dan berubah tergantung pada keinginan penerbit dan permintaan pasar.[31]
Struktur sukuk ijarah
sekurang-kurangnya ada tiga pihak yang terlibat di dalamnya yaitu:
1. Originator atau penerima ijarah
2.
Special purpose
vehicle (penerbit sukuk ijarah)
3. Investor (sukuk holders).
Caranya adalah pengambil inisiatif
membentuk Special Purpose Vehicle (SPV) yang merupakan suatu lembaga
yang bebas dan kepadanya dijual aset. Dengan pengertian bahwa lembaga ini
sebagai pengambil inisiatif untuk menyewakan aset tersebut dengan nilai sewa
yang disepakati. Kemudian SPV mensekuritisasikan aset tersebut dengan menggunakan
kontrak ijarah dan menjualnya kepada investor. Sertifikat ini memiliki
nilai yang sama dengan hak milik dari tangible assets.
Proses penjualan sukuk dimaksudkan untuk mendapatkan dana
bagi SPV yang akan dibayarkan kepada pemilik aset (pemerintah). Selanjutnya
disebabkan aset disewa kembali oleh originator, maka SPV berkewajiban
mengumpulkan sewa dari originator untuk diserahkan kepada investor (sukuk holder). Keuntungan dengan risiko yang
rendah dan kemungkinan mudah untuk dijual melalui pasar sekunder (liquidity)
merupakan pendorong bagi investor untuk membeli sukuk.[32]
Berikut ini
ciri-ciri yang harus dipertahankan dalam memandang sekuritisasi dengan menggunakan
akad ijarah:
1.
Penting untuk
kontrak ijarah bahwa baik aset yang disewa beli dan jumlah yang disewa
diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang terkait pada saat kontrak. Jika
kedua hal ini diketahui, ijarah dapat dikontrakkan pada suatu aset atau
suatu bangunan yang belum dikontruksi, selama hal tersebut dijelaskan
sepenuhnya dalam kontrak asalkan pihak yang menyewakan secara normal mampu
mendapatkannya, membangun atau membeli aset yang disewakan pada saat yang
ditentukan untuk pengirimannya pada penyewa.
2.
Penyewaan dalam
ijarah harus ditetapkan dalam bentuk yang jelas untuk bentuk pertama
dari sewa-beli, dan untuk perubahan di masa akan datang mungkin saja konstan,
meningkat atau menurun.
3.
Menurut aturan
syariah, pengeluaran-pengeluaran yang berhubungan karakteristik utama atau
dasar dari aset merupakan tanggung jawab pemilik, sementara pengeluaran untuk
pemeliharaan yang berhubungan dengan operasionalnya ditanggung oleh penyewa.
Untuk itu return yang diharapkan yang mengalir dari sukuk semacam ini
tidak dapat ditetapkan dan ditentukan di muka secara pasti.
4.
Sebagai
prosedur yang harus diperhatikan untuk penerbitan sukuk ijarah, SPV diciptakan
untuk menjual aset kepada investor dengan mengeluarkan sertifikat sukuk, yang
memungkin untuk membuat pembayaran untuk pembelian aset tersebut. Aset tersebut
kemudian disewakan
kepada pemerintah atau bentuk perusahaan tertentu untuk digunakan. Penyewa
membuat pembayaran sewa secara teratur kepada SPV yang kemudian
mendistribusikan hal yang sama kepada pemegang sukuk (investor).[33]
Sukuk
ijarah termasuk jenis sukuk yang paling diminati oleh investor sehingga sukuk
ijarah ini berkembang sedemikian cepat di pasaran. Sukuk ijarah merupakan
produk yang terakhir yang tumbuh dengan cepat dalam pasar modal. Permintaan yang tinggi oleh investor dan institusi pembiayaan Islam
menyebabkan sukuk ijarah ini semakin berkembang.[37]
[1] Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), hlm. 787.
[2] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami dan Membedah Obligasi pada
Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 92.
[3] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi
Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 122.
[4] Suruhanjaya
Security Malaysia, Sukuk: Islamic Capital Market Series, (Selangor:
Sweet & Maxwell Asia, 2010), hlm. iii.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 117.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Jilid 13, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1983), hlm. 177.
[8] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, hlm. 144.
[9] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami
dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 117.
[10] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar
Keuangan Islam : Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 231.
[11] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami
dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 117.
[12] Ijma
adalah kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw setelah beliau
wafat, pada suatu masa tertentu tentang suatu masalah tertentu.
[13] ‘Urf ialah segala sesuatu
yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah
menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun meninggalkan.
[14]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Fi al-Aqidah Wa al-Syariah Wa al-Minhaj,
Jilid X, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 450.
[15]Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III,
(Beirut: Maktab al-Tsaqafiyah, tt), hlm. 186.
[18]
Depdagri.go.id, Undang-Undang No19 Tahun 2008, diakses pada tanggal 8
Januari 2013 dari situs: http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2008/05/07/undang-undang-no-19-tahun-2008.
[19] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan
dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 769-784.
[20] Bapepam.go.id, Fatwa
DSN-MUI,
diakses pada tanggal 20 November 2012 dari situs : http://www.bapepam.go.id/syariah/fatwa/index.html.
[21] Ibid.
[23] Ibid.
[24]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm.
231.
[25] Ibid.,
hlm 232.
[26] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Imam
Syafi’i, (Terj. Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz), (Jakarta: Almahira, 2010),
hlm. 40-41.
[29] Ibid., hlm.
235.
Posting Komentar untuk "Sukuk Ijarah pada Bank Syariah"