jual beli murabahah dalam praktek perbankan
Islam adalah agama yang
universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada
garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah
adalah mengahmbakan diri kepada Allah SWT dengan menaati segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan
yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial.
Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan
pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.[1]
Untuk
melaksanakan kegiatan muamalah, manusia harus saling bekerja sama dan
memberikan bantuan kepada orang lain, bermuamalah untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Diantara jenis bentuk muamalah yang
telah membudaya dikalangan masyarakat adalah jual beli, pinjam meminjam dan
hutang piutang.
Adapun
bentuk-bentuk jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah
islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan atau
puluhan. Sesungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual
beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan
modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah,
bai’ as-salam, dan bai’ al-istishna’.
Murabahah didefinisikan
oleh para fuqaha sebagai penjualan barang seharga biaya atau harga pokok (cost)
barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Karakteristik murabahah
adalah bahwa penjual harus member tahu kepada pembeli mengenai harga pembelian
produk dan mengatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya (cost)
tersebut.
Pembayaran murabahah
dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan
adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murabahah
muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan
pembayarannya kemudian (setelah awal akad) baik dalam bentuk angsuran maupun
dalam bentuk sekaligus (tunai).
A. Pengertian
Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam definisi yang lain disebutkan murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Penjual harus memberitahu harga produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[2] Misalnya pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp10.000.000,00, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp750.000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp10.750.000,00. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran serta besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.[3]
Dalam murabahah,
bank syariah dapat bertindak sebagai penjual dan juga pembeli. Sebagai penjual
apabila bank syariah menjual barang kepada pembeli. Sedangkan sebagai pembeli
apabila bank syariah membeli barang kepada supplier untuk dijual kepada
nasabah.[4]
Kebutuhan nasabah untuk memiliki suatu barang tertentu, tetapi tidak memiliki
cukup dana sehingga bank syariah bisa memenuhi kebutuhan nasabah dengan skim
bai’ al-murabahah. Mekanisme transaksi ini, bank syariah melakukan akad dengan
nasabah kemudian bank syariah membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah
kepada supplier secara tunai, setelah itu bank syariah menjual kepada nasabah
dengan pembayaran angsuran.[5]
Pembayaran murabahah
dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan
adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murabahah
muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan
pembayarannya kemudian (setelah awal akad) baik dalam bentuk angsuran maupun
dalam bentuk sekaligus (tunai).[6]
Pada perjanjian
murabahah, bank atau lembaga keuangan membiayai pembelian barang atau asset
yang dibutuhkan oelh nasabah dengan membeli barang itu dari pemasok barang
kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu keuntungan.
Dengan kata lain penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar
cost-plus profit.[7]
B.
Dasar
Hukum Murabahah
1.
Al-Qur’an surah
an-Nisa ayat 29
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
2.
Al-Baqarah ayat
275
…
“…Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
3.
Al-Hadits
“Diriwayatkan oleh Hasan bin Ali
al-Khallal. Diriwayatkan oleh Bisyru bin Tsabit al-Bazzar. Diriwayatkan oleh
Nashr bin Qasim, dari ‘Abdir Rahman bin Daud, dari Shalih bin Shuhaib r.a. dari
ayahnya berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: tiga hal yang didalamnya
terdapat keberkahan: jaul beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”.
(HR. Ibnu majah)[8]
C.
Syarat
dan Rukun Bai’ al-Murabahah
Rukun
Murabahah
1.
Ba’iu (Penjual)
2.
Musytari (pembeli)
3.
Mabi’ (barang yang
diperjual belikan)
4.
Tsaman (harga
barang)
5.
Ijab Qabul
Syarat
Murabahah
1.
Syarat yang
berakad (penjual dan pembeli) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa
2.
Barang yang diperjualbelikan
tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas
3.
Harga barang harus
dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara
pembayarannya disebut dengan jelas
4.
Pernyataan secara
jelas (ijab qabul) harus jelas dengan
menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang berakad[9]
Pada dasarnya semua rukun
dan syarat murabahah diatas dapat terealisasi jika barang atau produk
yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan
kontrak. Apabila barang atau produk tidak dimiliki oleh penjual saat itu, maka
sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesanan pembelian (murabahah
KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan
barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.[10]
D.
Pendapat
Ulama tentang Murabahah
Para ulama mazhab berbeda
pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang
tersebut. Misalnya ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung
terkait dengan transaksi jual-beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung
terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang
itu.
Ulama mazhab Syafi’I
membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu
transaksi jual-beli kecuali kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena
komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya-biaya yang tidak
menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.
Ulama mazhab Hanafi
membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu
transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang
semestinya dikerjakan oleh penjual.
Ulama mazhab Hanbali
berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan
pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan
akan menambah nilai barang yang dijual.
Secara
ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya
langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat
tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan
yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan
dengan hal-hal yang berguna. Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan biaya
tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus
dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus dilakukan oleh si
penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab
lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan
biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan
dengan hal-hal yang berguna.[11]
E.
Manfaat Bai’
Murabahah
Sesuai dengan sifat
bisnis (tijarah) transaksi bai’ murabahah memiliki beberapa manfaat,
demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ murabahah memberi banyak
manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adanya keuntungan yang muncul dari
selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu
sistem bai’ murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan
administrasinya di bank syariah. Diantara kemukinan resiko yang harus
diantisipasi antara lain sebagai berikut:
1.
Default
atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran
2.
Fluktuasi harga
komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank
membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bias mengubah harga jual beli tersebut.
3.
Penolakan nasabah;
barang yang dikirim bisa saja ditolak oelh nasabah karena berbagai sebab. Bisa
jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya.
Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena
nasabah karena spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila
bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut
akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk
menjualnya kepada pihak lain.
4.
Dijual; karena
bai’ murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak
ditandatangani, barang tersebut menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan
apapun terhadap asset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika
demikian, risiko untuk default akan besar.[12]
F.
Murabahah dalam Teknis Perbankan
1.
Murabahah
adalah akad jaul-beli antara lembaga keunangan dan nasabah atas suatu jenis
barang tertentu dengan harga yang disepakati bersama. Lembaga keuangan akan
mengadakan barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah dengan harga
setelah ditambah keuntungan yang disepakati.
2.
Guna
memastikan keseriusannya untuk membeli, bank dapat mensyaratkan nasabah agar
terlebih dahulu membayar uang muka.
3.
Nasabah
membayar kepada bank atas harga barang tersebut (setelah dikurangi uang muka)
secara angsuran selama jangka waktu yang disepakati, dengan memerhatikan
kemampuan mengangsur ataupun arus kas usahanya. Pembayaran secara angsuran ini
dikenal dengan istilah bai’ bitsaman ajil (BBA)
4.
Baik
harga jual maupun besar angsuran yang telah disepakati tidak berubah hingga
akad pembiayaan berakhir.
5.
Tidak
ada denda atas keterlambatan pembayaran angsuran (penalty overdue)[13]
6.
Jaminan
bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’ murabahah.
Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main dengan
pesanan. Si pembeli (bank) dapat meminta si pemesan (nasabah) suatu jaminan (rahn)
untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan
dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang.[14]
KESIMPULAN
1. Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam definisi yang lain disebutkan murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2.
Didalam
al-Quran tidak dijelaskan secara rinci tentang Hukum bai’ murabahah,
namun menurut sebuah hadis dari rasulullah dan juga pendapat para ulama
membolehkan melakukan bai’ murabahah.
3.
Bai’
murabahah boleh dilakukan apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun
rukun bai’ murabahah yaitu:
a.
Ba’iu (Penjual)
b.
Musytari (pembeli)
c.
Mabi’ (barang yang
diperjual belikan)
d.
Tsaman (harga
barang)
e.
Ijab Qabul
[1] Karnaen A. Perwataatmaja,
Muhammad Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1992), h.8
[2] Slamet
Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah, Cet.II
(Jakarta: Grasindo, 2006, hal.87
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: dari Teori ke Praktik, Cet XVII (Jakarta: Gema Insani, 2011),
hal.101
[4] Slamet Wiyono, Cara Mudah
Memahami Akuntansi Perbankan Syariah,,, hal. 81
[5] Ibid,,,hal.87
[6] Adiwarman A. Karim, Bank
Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi
ketiga, 2006), hal. 116
[8] Abi abdillah Muhammad bin Yazid
al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz I (Beirut: Darul Fikr, 1424 H), hal.720
[9] Veithzal rivai, Andria Permata
Veithzal, Islamic financial Manajemen (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008, hal.146-147
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: dari Teori ke Praktik,,, Cet XVII, hal.101
[11] Adiwarman A. Karim, Bank
Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi
keempat, 2010), hal. 223
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: dari Teori ke Praktik,,, hal.106-107
[13] Veithzal rivai, Andria Permata
Veithzal, Islamic financial Manajemen (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hal.177
[14] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: dari Teori ke Praktik,,, hal.105
Posting Komentar untuk "jual beli murabahah dalam praktek perbankan"