Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KONSEP HARTA DALAM ISLAM


KONSEP HARTA DALAM ISLAM
Pengertian al-Mal (harta) dalam Islam

Secara etimologi al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal di artikan segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
Harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan. Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta. Dalam al-Qur’an, kata al-mal (harta) disebutkan dalam 90 ayat lebih. Sedangkan dalam hadis rasulullah kata harta banyak sekali disebutkan tidak terhitung jumlahnya.
Kata harta dalam istilah ahli fikih berarti “segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya”. Dan juga ada beberapa pengertian harta adalah sebagai berikut:
11. Harta adalah segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan.
22. Harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, sehingga oleh para ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan dalam ke dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok) yang terdiri atas harta, agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kebebasan seseorang untuk memeliki dan menfaatkan hartanya adalah sebatas yang direstui oleh syara’. Oleh sebab itu, dalam pemilikan dan penggunaan harta di samping untuk kemaslahatan pribadi pemilik harta, juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain.
Penggunaan harta dalam islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia.[1]
Harta benda dibagi menjadi dua kategori:
11. Harta berbentuk benda, yaitu segala sesuatu yang berbentuk materi yang dapat dirasakan oleh indera, seperti mobil dan lain-lain.
22. Harta berbentuk manfaat, yaitu faedah yang diperoleh dari suatu benda. Misalnya memanfaatkan mobil, menempati rumah dan lainnya.
Harta juga dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan asumsi sebgai berikut:
1. Perlindungan syara’
aa. Harta yang bernilai : yaitu harta yang memiliki harga. Orang yang membuat harta jenis ini jika rusak harus menggantinya, apabila digunakan dengan cara yang tidak sebagaimana mestinya. Harta ini dapat dikategorikan sebagai harta bernilai yang berdasarkan dua ketentuan. Pertama, harta yang merupakan hasil usah dan bisa dimiliki. Kedua, harta yang bisa dimanfaatkan menurut syara’ dalam keadaan lapang dan tidak mendesak, seperti uang, rumah dan sebagainya.
bb. Harta yang tidak bernilai : yaitu harta yang tidak memenuhi salah satu dari dua kriteria di atas. Seperti ikan di dalam air laut; semua ikan yang ada di dalam lautan bukan hak milik siapa pun. Demikian pula dengan minuman keras dan babi; kedua jenis harta ini tidak termasuk harta yang bernilai bagi seorang muslim. Karena seorang muslim dilarang untuk memanfaatkannya.
2.      Harta yang bergerak dan tidak bergerak
aa. Harta yang bergerak yaitu semua harta yang bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Seperti mobil, perabotan rumah tangga dan yang sejenisnya.
bb. Harta yang tidak bergerak yaitu semua harta yang tidak bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Seperti tanah, bangunan dan sejenisnya.
3.      Harta yang memiliki kesamaan
aa. Harta yang serupa yaitu jenis harta yang ada padanannya di pasar, sedikitpun tidak ada perbedaannya. Seperti beras, kurma dan yang sejenisnya.
  b. Harta yang tidak serupa yaitu harta yang pada dasarnya tidak ada padanannya, seperti buah permata langka. Ataupun ada padanannya tetapi terdapat perbedaan dalam memperlakukannya, seperti hewan, pohon dan sejenisnya.
4.      Harta yang konsumtif dan tidak konsumtif
a.       Harta yang konsumtif yaitu semua harta yang habis ketika dimanfaatkan. Seperti makanan, minuman dan lain-lain.
b.      Harta yang tidak konsumtif yaitu harta yang dapat dimanfaatkan, sementara bahannya tetap ada. Seperti buku, mobil dan yang sejenisnya.
5.      Harta yang dapat dimiliki dan tidak dapat dimiliki
a. Harta yang mutlak dapat dimiliki yaitu harta yang dikhususkan untuk kepentingan umum,seperti jalan umum, jembatan dan sebagainya.
b. Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali atas izin syara’ yaitu seperti harta yang telahdiwakafkan. Harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan, kecuali dikhawatirkan atau jelas-jelas biaya pengeluaran untuk menjaga harta wakaf itu lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
c.   Harta yang dapat dimiliki yaitu harta yang tidak termasuk dalam dua kategori di atas.[2]
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
1.      Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah Swt. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkannya.
2.      Status harta yang dimiliki manusia :
a.       Amanah
b.      Perhiasan hidup
c.       Ujian keimanan
d.      Bekal ibadah
3.      Kepemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha atau mata pencaharian yang halal dan sesuai aturan Allah
4.      Dilarang mencari harta, berusaha, bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan zikrullah, melupakan shalat dan zakat dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja.
5.      Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, mencuri, merampok dan melalui cara-cara yang batil.[3]

1.         Kepemilikan Harta dalam Islam
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.
Al-Qur’an mengulang lebih dari dua puluh kali bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Salah satunya terdapat dalam surat Al-Hadid  ayat 5 Allah berfirman:
 
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. (Al-Hadid : 5).

Kepemilikan dan otoritas di dunia ini didelegasikan datau diamanahkan kepada manusia sebagai khalifatullah. Allah berfirman:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."  (QS. Al-Baqarah : 29-30)

Karenanya, kemudian ditemukan pernyataan fiqh  bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah dan manusia merupakan pengelolanya di muka bumi.[4]
Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu:
1.      Diperoleh dengan cara yang sah dan benar
2.      Dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik di jalan Allah
Allah adalah pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini, sedangkan manusia adalah wakil (khalifah) Allah yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya. Sudah seharusnya sebagai pihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta titipan tersebut disesuaikan dengan keinginan pemilik mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah swt. Untuk itu, Allah telah menetapkan ketentuan syariah sebagai pedoman bagi manusia dalam memperoleh dan membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan tersebut, dan di hari akhirat nanti manusia akan diminta pertanggungjawabannya.
Menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah.[5]
Dari beberapa keterangan nash-nash shara' dapat dijelaskan bahwa kepemilikan terklasifikasi menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Kepemilikan pribadi adalah hukum shara' yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya--baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi--dari barang tersebut.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan izin al-shari' untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-shari' serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari' untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
2.      Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-'ammah/ public property)
Kepemilikan Umum adalah izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Fasilitas dan sarana umum tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
"Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api " (HR Ahmad dan Abu Dawud) dan dalam hadith lain terdapat tambahan: "...dan harganya haram" (HR Ibn Majah dari Ibn Abbas).
Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut.
Adapun al-kala' adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu bakar.
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi al-shari' yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
3.      Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/ state private)
Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-'ammah/public property) namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
1.      Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus
2.      Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3.      Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4.      Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5.      Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6.      Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7.      Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8.      Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9.      Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.


[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 73-76.
[2] Asyraf Muhammad Dawwabah, Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah, (Terj. Imam GM), (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006), hlm. 1-4.

[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm.9-10
[4] Akhsien, Iggi H., Investasi Syariah di Pasar Modal : Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 21.

[5] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Ed. II, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hlm. 67.
ikhwanmauluddin
ikhwanmauluddin with word and action

Posting Komentar untuk "KONSEP HARTA DALAM ISLAM"