Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sukuk Ijarah pada Bank Syariah



1. Pengertian Sukuk Ijarah dan Landasan Hukumnya

1.1. Pengertian Sukuk Ijarah
Sukuk berasal dari bahasa Arab yaitu shak ( (صكjamaknya shukūk (صكوك) atau shikāk (صكاك) yang artinya dokumen atau piagam.[1] Dan bisa juga bermakna percetakan atau menempa sehingga kalau dikatakan sakkan nuqud bermakna pencetakan atau penempahan uang.[2]
            Kata-kata shak, shukūk atau shikāk dapat ditelusuri dengan mudah pada literatur Islam komersial klasik. Kata-kata tersebut terutama secara umum digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim pada abad pertengahan,
bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer pengiriman uang) dan mudharabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi, sejumlah penulis barat tentang sejarah perdagangan Islam atau Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata shak merupakan kata dari suara latin “cheque” atau check yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer.[3]
          Accounting and auditing organization for Islamic financial institutions (AAOIFI) mendefenisikan sukuk sebagai berikut:
Certificates of ownnership of a pool of underlying assets, in which the certifites are equal of value, issued with the aim of using the mobilized funds for establising a new project, developing an existing project, or financing a business activity as per their respective shares.[4]
Secara singkat defenisi sukuk menurut AAOIFI adalah sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti kepemilikan atas barang itu sendiri.[5] Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[6]
            Ijarah terbagi kepada dua, yaitu:
a.       Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir, sedangkan pihak pekerja disebut ‘ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa-beli) pada konvensional. Pihak yang menyewa disebut musta’jir, pihak yang menyewakan disebut mu’jir dan biaya sewa disebut ujrah.[7]
Sedangkan sukuk ijarah adalah sekuritas yang mewakili kepemilikan aset yang keberadaaannya jelas dan diketahui, yang melekat pada suatu kontrak sewa beli (lease), sewa di mana pembayaran return pada pemegang sukuk.[8]
Sukuk ijarah merupakan sertifikat sukuk yang dikeluarkan berdasarkan aset-aset tertentu yang sah mempunyai nilai ekonomis, terdiri dari tanah, bangunan dan barang-barang lain yang termasuk dalam aset yang berharga. Bentuk sukuk ijarah terdiri dari:
a.       Tangiable asset di mana investor memiliki bagian dari aset dan pendapatan yang berhubungan dengan ijarah.
b.      Kepentingan yang bermanfaat bagi investor mendapatkan hak sewa atas aset yang dengan kontrak sukuk dapat memperoleh manfaat al-ijarah.[9]
Sukuk ijarah didasarkan pada kontrak ijarah atau sewa guna usaha dan tunduk pada persyaratan tertentu agar sah untuk disekuritisasikan. Terdapat beberapa syarat pada sukuk ijarah di antaranya:
1.      Kontrak sewa yang mendasarinya harus sesuai dengan prinsip syariah, yang bisa jadi berbeda dari bentuk syarat dan ketentuan yang berlaku dalam kesepakatan sewa guna usaha finansial konvensional.
2.      Aset yang disewakan harus memiliki kegunaan yang menguntungkan bagi pengguna, yang menjadi alasan mereka membayar sewa.
3.      Aset yang disewakan harus memenuhi karakteristik yang menjadikan penggunaannya benar-benar sesuai syariah. Sebagai contoh menyewakan gedung kasino atau peternakan babi tidak diperbolehkan dalam syariat.[10]
Sukuk ijarah merupakan sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian, di mana satu pihak bertindak sendiri atau wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
Sukuk ijarah merupakan produk yang terakhir yang tumbuh dengan cepat dalam pasar modal. Permintaan yang tinggi oleh investor dan institusi pembiayaan Islam menyebabkan sukuk ijarah ini semakin berkembang. Di sisi supply juga telah banyak negara yang mendapatkan keuntungan dalam meningkatkan sumber dana dari keperluan fiskal dan pembiayaan jangka panjang terhadap proyek-proyek pembangunan yang besar.[11]

2.1.2. Landasan Hukum Sukuk Ijarah
 Kontrak ijarah haruslah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, para ulama tidak berselisih tentang hukum kebolehan kontrak ijarah ini. Ijarah telah dibenarkan oleh al-Qur’an, al-sunnah, ijma’ ulama[12] dan urf [13]. Ulama mazhab telah mengkajinya secara mendalam sehingga para mujtahid tidak menemukan kontrak ijarah bertentangan dengan syara. Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah adalah terdapat dalam surah al-Qashash ayat 26:

Artinya: salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.   (QS. al-Qashash : 26)
Wahbah al-Zulhaili menjelaskan tentang ayat di atas dalam tafsirnya al-Munir bahwa ayat tersebut merupakan dalil tentang pensyariatan ijarah. Di mana konsep ijarah (sewa) merupakan sesuatu yang disyariatkan pada setiap agama, tidak hanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, karena ijarah sesuatu yang diperlukan oleh manusia dan juga mempunyai maslahah bagi manusia.[14]
Sedangkan dalil pensyariatan ijarah yang terdapat dalam hadis adalah hadis tentang memberikan upah kepada tukang bekam:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال احتجم النبي صلي الله عليه و سلم و أعطى الحجام اجره. (رواه البخاري)
Artinya :  dari Ibn Abbas ra berkata: Nabi saw berbekam, kemudian beliau memberikan upahnya kepada tukang bekam. (H.R. Bukhari)[15]
Para ulama klasik belum membahas secara detail masalah sukuk, keterangan mengenai sukuk hanya sedikit dibahas dalam kitab fiqh mazhab Hanafi dan Syafi’i. Dalam pandangan fiqh Hanafi sebagaimana yang disampaikan muridnya, Abu Yusuf, dalam memberikan komentar tentang membeli barang yang belum dimiliki, bahwa beliau berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi shak (jual beli property real) sebelum dimiliki penjual, hal ini tidak perlu diterangkan secara detail karena sudah menjadi suatu kebiasaan mereka dalam aktivitas pengalihan harta. Imam Malik juga membolehkan yang demikian untuk dilakukan.[16]
Sedangkan mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa hawalah tidak berbeda dengan shak (sukuk), maksudnya hawalah berhubungan dengan penyelesaian utang yang dilakukan dalam bentuk dan jumlah serta ukuran yang sama, sedangkan penyelesaian utang yang dilakukan bukan atas dasar pertolongan termasuk dalam kategori riba. Namun secara eksplisit peranan yang terdapat dalam pelaksanaan sukuk telah dibahas dasar-dasarnya dalam berbagai kitab fiqh. Pemahaman fiqh lebih terfokus pada peranan sukuk yang merupakan suatu akad kerja sama terhadap pengambilan keuntungan dari obyek akad.[17]
Landasan hukum sukuk yang terdapat dalam undang-undang dan fatwa Dewan Syariah Nasional adalah sebagai berikut :
a.       Undang-undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Pasal 1 ayat (1), Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
2.      Pasal 5 ayat (2), Menteri Keuangan berwenang untuk melaksanakan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara.
3.      Pasal 6 ayat (1), penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dapat dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah atau melalui perusahaan penerbit Surat Berharga Syariah Negara.
4.      Pasal 9 ayat (2), pemerintah wajib membayar imbalan dan nilai nominal Surat Berharga Syariah Negara pada saat jatuh tempo.
5.      Pasal 9 ayat (3), dana untuk pembayaran imbalan nilai nominal Surat Berharga Syariah Negara disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
6.      Pasal 10 ayat (1), barang milik negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya barang milik negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN.[18]
b.      Fatwa NO: 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syari’ah Ijarah, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:[19]
1.      Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah ijarah.
2.      Obyek ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.
3.      Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah.
4.      Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk aset yang telah ada maupun aset yang akan diadakan untuk disewakan.
c.       Fatwa NO: 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan, maupun selain tanah dan/atau bangunan yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan SBSN.
2.      Imbalan adalah semua pembayaran yang diberikan kepada pemegang SBSN yang dapat berupa ujrah (uang sewa), bagi hasil, atau bentuk pembayaran lain sesuai dengan akad yang digunakan sampai dengan jatuh tempo SBSN.
3.      SBSN dapat diterbitkan secara langsung oleh pemerintah atau melalui perusahaan penerbit SBSN.
4.      Pemerintah wajib membayar imbalan serta nilai nominal atau dana SBSN kepada pemegang SBSN pada saat jatuh tempo sesuai akad yang digunakan.[20]
d.      Fatwa No 71/DSN-MUI/IV2008 tentang akad sale and lease back, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Akad yang digunakan adalah bai' dan ijarah yang dilaksanakan secara terpisah.
2.      Dalam akad bai', pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
3.      Akad ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang akan dijadikan sebagai obyek ijarah.[21]
e.       Fatwa No: 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara ijarah sale and lease back, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Pemerintah menjual aset yang akan dijadikan obyek ijarah kepada perusahaan penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk menjual kembali aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
2.      Pemerintah atau perusahaan penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti atas bagian kepemilikan obyek ijarah, yang dibeli oleh investor pada tingkat harga tertentu sesuai kesepakatan.
3.      Pemerintah menyewa obyek ijarah dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada pemegang SBSN selama jangka waktu SBSN.[22]
f.       Fatwa No: 76/DSN-MUI/ VI/2010 tentang SBSN ijarah asset to be leased, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah, berlaku pula dalam akad ijarah asset to be leased.
2.      Hak dan kewajiban para pihak harus dijelaskan dalam akad.
3.      Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan hak atas sebagian aset yang akan dijadikan obyek ijarah asset to be leased kepada perusahaan penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk.
4.      Pemerintah atau perusahaan penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti kepemilikan atas bagian dari obyek ijarah asset to be leased yang dibeli oleh investor pada harga tertentu sesuai kesepakatan.
5.      Pemerintah atau pihak lainnya menyewa obyek ijarah asset to be leased dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada pemegang SBSN secara periodik maupun sekaligus sesuai kesepakatan selama jangka waktu SBSN berdasarkan masa sewa.[23]

2. Rukun dan Syarat Sukuk Ijarah
Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya.
Ulama berbeda pendapat tentang rukun dalam akad ijarah. Menurut ulama Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu, yaitu: ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu: dua belah pihak yang berakad, sighat (ijab dan qabul), sewa/imbalan (ujrah), dan hak pakai (manfaat). Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat termasuk syarat-syarat ijarah bukan rukunnya.[24]
Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:
1.      Dua belah pihak yang mengadakan akad menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu apabila orang yang belum baligh dan tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka akad ijarah-nya tidak sah. Akan tetapi, Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang itu tidak harus mencapai usia baligh dan dianggap sah apabila telah disetujui oleh walinya.[25]
2.      Sighat (ijab qabul sebagai manifestasi dari perasaan suka sama suka, dengan catatan keduanya terdapat kecocokan atau kesesuaian. Menurut pendapat yang ashah, ijarah sah dengan ucapan, “aku menyewakan manfaat barang ini kepadamu” dan tidak sah dengan redaksi “aku jual manfaat barang ini kepadamu”. Karena istilah “jual beli” digunakan untuk mengalihkan hak kepemilikan atas barang, tidak berlaku dalam pengalihan manfaat. Sebaliknya jual beli pun tidak sah dengan redaksi ijarah.[26]
3.      Imbalan (ujrah) dalam hal sewa-menyewa barang yang berwujud (ijarah ‘ain) disyaratkan upah harus diketahui jenis, kadar, dan sifatnya, layaknya harga dalam akad jual beli. Karena ijarah merupakan akad yang berorientasi keuntungan, yaitu tidak sah menyebutkan nilai kempensasi layaknya jual beli. Apabila imbalan tersebut berupa barang yang berwujud, musta’jir cukup dengan melihatnya, meskipun itu diperuntukkan sebagai kompensasi manfaat tertentu atau dalam bentuk tanggungan. Serah terima ujrah dalam sewa menyewa barang secara langsung tidak wajib dilakukan di tempat akad. Berbeda dengan akad ijarah dalam bentuk tanggungan. Dengan demikian musta’jir berhak atas hak guna pakai barang yang telah disepakati dalam akad. [27]
4.      Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek ijarah tidak jelas maka akadnya tidak sah.
5.      Obyek al-ijarah boleh diserahkan atau dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.[28]
6.      Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Seperti menyewa seseorang untuk membunuh orang lain tanpa hak, maka akad ijarah-nya tidak sah, karena membunuh seseorang tanpa hak merupakan diharamkan oleh syara’.
7.      Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa seseorang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa, maka sewa-menyewa seperti ini tidak sah.
8.      Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil dan lainnya.[29]
3.   Sukuk Ijarah pada Perbankan Syariah
Sukuk ijarah merupakan sekuritas yang mewakili kepemilikan aset yang keberadaannya jelas dan diketahui. Dalam kontrak ijarah penting bahwa baik aset yang disewa beli dan jumlah yang disewa diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang terkait pada saat kontrak.[30] Dalam akad ijarah, obyek ijarah dapat berupa manfaat aset dan pembayaran sewa atau manfaat jasa dan pembayaran upah.
Ijarah termasuk ke dalam kontrak jual tukar-menukar (al-mu’awadat) dan sama dengan kontrak jual beli manfaat. Pertukaran uang dengan sewa pekerjaan menghasilkan upah, pertukaran uang dengan manfaat aset (sewa manfaat benda) dan menukarkan suatu manfaat lainnya dapat menghasilkan keuntungan sewa.
Disebabkan ijarah telah menjadi suatu bentuk aktivitas ekonomi, terutama dalam dunia modern, maka telah terjadi perubahan teknis pada kontrak ijarah, meskipun asasnya secara umum tidak berubah. Pakar ekonomi telah mengembangkan kontrak ijarah yang lebih atraktif, yang sesuai dengan kaidah fiqh serta menyesuaikannya dengan mekanisme pasar yang relevan dengan kontrak pembiayaan modern.
Pakar ekonomi juga telah mengembangkan teori ijarah dalam bentuk perbankan dan pasar modal. Kontrak ijarah yang dikembangkan dalam bentuk pasar modal lebih dikenal dengan sukuk ijarah (Islamic leasing certificates).
Sukuk ijarah adalah sertifikat sukuk yang dikeluarkan berdasarkan aset-aset tertentu yang sah mempunyai nilai ekonomis, terdiri dari petak tanah, bangunan dan barang-barang lain yang masuk dalam aset yang berharga. Nilai keuntungan sewa terhadap sukuk ini dapat berbentuk tetap dan berubah tergantung pada keinginan penerbit dan permintaan pasar.[31]
Struktur sukuk ijarah sekurang-kurangnya ada tiga pihak yang terlibat di dalamnya yaitu:
1.      Originator atau penerima ijarah  
2.      Special purpose vehicle (penerbit sukuk ijarah)
3.      Investor (sukuk holders).
Caranya adalah pengambil inisiatif membentuk Special Purpose Vehicle (SPV) yang merupakan suatu lembaga yang bebas dan kepadanya dijual aset. Dengan pengertian bahwa lembaga ini sebagai pengambil inisiatif untuk menyewakan aset tersebut dengan nilai sewa yang disepakati. Kemudian SPV mensekuritisasikan aset tersebut dengan menggunakan kontrak ijarah dan menjualnya kepada investor. Sertifikat ini memiliki nilai yang sama dengan hak milik dari tangible assets.
Proses penjualan sukuk dimaksudkan untuk mendapatkan dana bagi SPV yang akan dibayarkan kepada pemilik aset (pemerintah). Selanjutnya disebabkan aset disewa kembali oleh originator, maka SPV berkewajiban mengumpulkan sewa dari originator untuk diserahkan kepada investor (sukuk holder). Keuntungan dengan risiko yang rendah dan kemungkinan mudah untuk dijual melalui pasar sekunder (liquidity) merupakan pendorong bagi investor untuk membeli sukuk.[32]
Berikut ini ciri-ciri yang harus dipertahankan dalam memandang sekuritisasi dengan menggunakan akad ijarah:
1.      Penting untuk kontrak ijarah bahwa baik aset yang disewa beli dan jumlah yang disewa diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang terkait pada saat kontrak. Jika kedua hal ini diketahui, ijarah dapat dikontrakkan pada suatu aset atau suatu bangunan yang belum dikontruksi, selama hal tersebut dijelaskan sepenuhnya dalam kontrak asalkan pihak yang menyewakan secara normal mampu mendapatkannya, membangun atau membeli aset yang disewakan pada saat yang ditentukan untuk pengirimannya pada penyewa.
2.      Penyewaan dalam ijarah harus ditetapkan dalam bentuk yang jelas untuk bentuk pertama dari sewa-beli, dan untuk perubahan di masa akan datang mungkin saja konstan, meningkat atau menurun.
3.      Menurut aturan syariah, pengeluaran-pengeluaran yang berhubungan karakteristik utama atau dasar dari aset merupakan tanggung jawab pemilik, sementara pengeluaran untuk pemeliharaan yang berhubungan dengan operasionalnya ditanggung oleh penyewa. Untuk itu return yang diharapkan yang mengalir dari sukuk semacam ini tidak dapat ditetapkan dan ditentukan di muka secara pasti.
4.      Sebagai prosedur yang harus diperhatikan untuk penerbitan sukuk ijarah, SPV diciptakan untuk menjual aset kepada investor dengan mengeluarkan sertifikat sukuk, yang memungkin untuk membuat pembayaran untuk pembelian aset tersebut. Aset tersebut kemudian disewakan kepada pemerintah atau bentuk perusahaan tertentu untuk digunakan. Penyewa membuat pembayaran sewa secara teratur kepada SPV yang kemudian mendistribusikan hal yang sama kepada pemegang sukuk (investor).[33]
             Sukuk ijarah termasuk jenis sukuk yang paling diminati oleh investor sehingga sukuk ijarah ini berkembang sedemikian cepat di pasaran. Sukuk ijarah merupakan produk yang terakhir yang tumbuh dengan cepat dalam pasar modal. Permintaan yang tinggi oleh investor dan institusi pembiayaan Islam menyebabkan sukuk ijarah ini semakin berkembang.[37]


[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 787.

[2] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 92.

[3] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 122.
[4] Suruhanjaya Security Malaysia, Sukuk: Islamic Capital Market Series, (Selangor: Sweet & Maxwell Asia, 2010), hlm. iii.

[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 117.

[6] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 13, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1983), hlm. 177.
[7] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 99.

[8] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, hlm. 144.

[9] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 117.
[10] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 231.

[11] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 117.
[12] Ijma adalah kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu tentang suatu masalah tertentu.

[13]Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun meninggalkan.

[14] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Fi al-Aqidah Wa al-Syariah Wa al-Minhaj, Jilid X, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 450.
[15]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, (Beirut: Maktab al-Tsaqafiyah, tt), hlm. 186.  

[16] Nazaruddin Abdul Wahid, Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 98.
[17] Ibid., hlm. 99.
[18] Depdagri.go.id, Undang-Undang No19 Tahun 2008, diakses pada tanggal 8 Januari 2013 dari situs: http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2008/05/07/undang-undang-no-19-tahun-2008.

[19] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 769-784.
[20] Bapepam.go.id, Fatwa DSN-MUI, diakses pada tanggal 20 November 2012 dari situs : http://www.bapepam.go.id/syariah/fatwa/index.html.

[21] Ibid.
[22] Ibid.

[23] Ibid.
[24] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 231.

[25] Ibid., hlm 232.
[26] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Terj. Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz), (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 40-41.

[27] Ibid., hlm. 43.
[28] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 233.

[29] Ibid., hlm. 235.

[30] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, hlm. 144.
[31] Nazaruddin Abdul Wahid, Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 116-117.
[32] Ibid., hlm. 118.
[33] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, hlm. 145-146.
[34] Nazaruddin Abdul Wahid, Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, hlm. 119.
[35] Ibid., hlm. 121.
[36] Ibid., hlm. 122.
[37] Ibid., hlm. 123-124.
ikhwanmauluddin
ikhwanmauluddin with word and action

Posting Komentar untuk "Sukuk Ijarah pada Bank Syariah"