Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prospek LKS Pasca UU No. 21 Tahun 2008

Islam adalah agama yang universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah mengahmbakan diri kepada Allah SWT dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial. Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.[1]
            Untuk melaksanakan kegiatan muamalah, manusia harus saling bekerja sama dan memberikan bantuan kepada orang lain, bermuamalah untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Diantara jenis bentuk muamalah yang telah membudaya dikalangan masyarakat adalah jual beli, pinjam meminjam dan hutang piutang.
            Adapun bentuk-bentuk jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan atau puluhan. Sesungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, dan bai’ al-istishna’.
Murabahah didefinisikan oleh para fuqaha sebagai penjualan barang seharga biaya atau harga pokok (cost) barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus member tahu kepada pembeli mengenai harga pembelian produk dan mengatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya (cost) tersebut.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayarannya kemudian (setelah awal akad) baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk sekaligus (tunai).


A.    Pengertian

Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam definisi yang lain disebutkan murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Penjual harus memberitahu harga produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[2] Misalnya pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp10.000.000,00, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp750.000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp10.750.000,00. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran serta besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.[3]
Dalam murabahah, bank syariah dapat bertindak sebagai penjual dan juga pembeli. Sebagai penjual apabila bank syariah menjual barang kepada pembeli. Sedangkan sebagai pembeli apabila bank syariah membeli barang kepada supplier untuk dijual kepada nasabah.[4] Kebutuhan nasabah untuk memiliki suatu barang tertentu, tetapi tidak memiliki cukup dana sehingga bank syariah bisa memenuhi kebutuhan nasabah dengan skim bai’ al-murabahah. Mekanisme transaksi ini, bank syariah melakukan akad dengan nasabah kemudian bank syariah membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada supplier secara tunai, setelah itu bank syariah menjual kepada nasabah dengan pembayaran angsuran.[5]
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayarannya kemudian (setelah awal akad) baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk sekaligus (tunai).[6]
Pada perjanjian murabahah, bank atau lembaga keuangan membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oelh nasabah dengan membeli barang itu dari pemasok barang kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu keuntungan. Dengan kata lain penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar cost-plus profit.[7]

     B.     Dasar Hukum Murabahah
       1.      Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 29
  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

        2.      Al-Baqarah ayat 275
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

        3.      Al-Hadits

“Diriwayatkan oleh Hasan bin Ali al-Khallal. Diriwayatkan oleh Bisyru bin Tsabit al-Bazzar. Diriwayatkan oleh Nashr bin Qasim, dari ‘Abdir Rahman bin Daud, dari Shalih bin Shuhaib r.a. dari ayahnya berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jaul beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu majah)[8]

      C.    Syarat dan Rukun Bai’ al-Murabahah
Rukun Murabahah
1.      Ba’iu (Penjual)
2.      Musytari (pembeli)
3.      Mabi’ (barang yang diperjual belikan)
4.      Tsaman (harga barang)
5.      Ijab Qabul

Syarat Murabahah
1.      Syarat yang berakad (penjual dan pembeli) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa
2.      Barang yang diperjualbelikan tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas
3.      Harga barang harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebut dengan jelas
4.      Pernyataan secara jelas  (ijab qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang berakad[9]
Pada dasarnya semua rukun dan syarat murabahah diatas dapat terealisasi jika barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan kontrak. Apabila barang atau produk tidak dimiliki oleh penjual saat itu, maka sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesanan pembelian (murabahah KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.[10]

      D.    Pendapat Ulama tentang Murabahah

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual-beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu.
Ulama mazhab Syafi’I membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli kecuali kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.
Ulama mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh penjual.
Ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.
            Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna.[11]

      E.     Manfaat Bai’ Murabahah
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah) transaksi bai’ murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu sistem bai’ murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah. Diantara kemukinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:
1.      Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran
2.      Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bias mengubah harga jual beli tersebut.
3.      Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oelh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah karena spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
4.      Dijual; karena bai’ murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang tersebut menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap asset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika demikian, risiko untuk default akan besar.[12]

     F.     Murabahah dalam Teknis Perbankan
1.      Murabahah adalah akad jaul-beli antara lembaga keunangan dan nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang disepakati bersama. Lembaga keuangan akan mengadakan barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah dengan harga setelah ditambah keuntungan yang disepakati.
2.      Guna memastikan keseriusannya untuk membeli, bank dapat mensyaratkan nasabah agar terlebih dahulu membayar uang muka.
3.      Nasabah membayar kepada bank atas harga barang tersebut (setelah dikurangi uang muka) secara angsuran selama jangka waktu yang disepakati, dengan memerhatikan kemampuan mengangsur ataupun arus kas usahanya. Pembayaran secara angsuran ini dikenal dengan istilah bai’ bitsaman ajil (BBA)
4.      Baik harga jual maupun besar angsuran yang telah disepakati tidak berubah hingga akad pembiayaan berakhir.
5.      Tidak ada denda atas keterlambatan pembayaran angsuran (penalty overdue)[13]
6.      Jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’ murabahah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main dengan pesanan. Si pembeli (bank) dapat meminta si pemesan (nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang.[14]


KESIMPULAN

1.      Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam definisi yang lain disebutkan murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2.      Didalam al-Quran tidak dijelaskan secara rinci tentang Hukum bai’ murabahah, namun menurut sebuah hadis dari rasulullah dan juga pendapat para ulama membolehkan melakukan bai’ murabahah
3.   Bai’ murabahah boleh dilakukan apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun bai’ murabahah yaitu:
      a.       Ba’iu (Penjual)
      b.      Musytari (pembeli)
      c.       Mabi’ (barang yang diperjual belikan)
      d.      Tsaman (harga barang)
      e.       Ijab Qabul



[1] Karnaen A. Perwataatmaja, Muhammad Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), h.8
[2]  Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah, Cet.II (Jakarta: Grasindo, 2006, hal.87
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Cet XVII (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal.101
[4] Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah,,, hal. 81
[5] Ibid,,,hal.87
[6] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi ketiga, 2006), hal. 116
                [7] Sutan Remy Sjahjeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hal.64
[8] Abi abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz I (Beirut: Darul Fikr, 1424 H), hal.720
[9] Veithzal rivai, Andria Permata Veithzal, Islamic financial Manajemen (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hal.146-147
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik,,, Cet XVII, hal.101

[11] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi keempat, 2010), hal. 223
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik,,, hal.106-107

[13] Veithzal rivai, Andria Permata Veithzal, Islamic financial Manajemen (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal.177
[14] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik,,, hal.105
ikhwanmauluddin
ikhwanmauluddin with word and action

Posting Komentar untuk "Prospek LKS Pasca UU No. 21 Tahun 2008"