Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wakaf : Suatu Pengantar

Wakaf merupakan salah satu kegiatan dari berbagai kegiatan yang ada dalam sistem ekonomi islam. Masalah wakaf merupakan masalah yang sampai saat ini kurang dibahas secara intensif. Pembahasan yang ada masih berkonsentrasi pada pokok bahasan masalah fikih, pholosofi syariah, riba, keuangan, perbankan syariah dan lain-lain. Sementara pembahasan dari sisi teorinya serta aplikasi masih sangat jarang.
Kurangnya  pembahasan-pembahasan masalah wakaf disebabkan karena umat Islam hampir melupakan kegiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga perwakafan. Masalah mis-management dan korupsi diperkirakan menjadi sebab utama sehingga kegiatan lembaga perwakafan kurang diminati atau bahkan ditinggalkan oleh umat Islam lebih kurang seabad yang lalu. Baru pada tahun terakhir ini muncul kembali minat umat Islam untuk menggiatkan kembali kehidupan lembaga perwakafan.

Dengan tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi sistem ekonomi Islam maka sebenarnya terbuka peluang untuk melakukan berbagai bahasan yang terdapat dalam kegiatan-kegiatan penghimpunan dana lainnya yang ada dalam sistem ekonomi Islam tersebut. Melalui makalah yang singkat ini, kami mencoba untuk membahas permasalahan wakaf , institusi wakaf serta pengelolaannya.

Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah menunjukan peran penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Selain itu, keberadaan wakaf telah banyak memfasilitasi para sarjana muslim untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pendanaan kepada pemerintah. Wakaf terbukti telah menjadi instrumen jaminan sosial dalam rangka membantu kaum yang lemah untuk memenuhi hajat hidup, baik berupa kesehatan, biaya hari tua, kesejahteraan hidup, dan pendidikan.
A.    Pengertian Wakaf

Secara etimologi, wakaf berasal dari kata waqf, yang bisa bermakna “al-habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam.[1] Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu.

Para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Defenisi wakaf menurut ahli fikih adalah sebagai berikut:

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif  dan menyedekahkan atau mewakafkan kepada siapa pun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemiliknya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (sighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif.

Ketiga, Syafi’iyah mengartikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[2]

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagin harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah adan /dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari cara transaksinya wakaf dapat dipandang sebagai salah satu bentuk amal yang mirip dengan sedekah. Yang membedakannya adalah dalam sedekah, baik subtasnsi (asset) maupun hasil/manfaat yang diperoleh dari pengelolaannya, seluruhnya ditranfer (dipindahtangankan) kepada yang berhak menerimanya, sedangkan pada wakaf, yang di transfer hanya hasil/manfaat, sedangkan substansi (asset) tetap dipertahankan. Sementara itu, perbedaan wakaf dengan hibah adalah dalam hibah substansi (asset)nya dapat dipindahtangankan dari seseorang kepada orang lain tanpa ada persyaratan, sedangkan pada wakaf ada persyaratan penggunaan yang telah ditentukan waqif. Tujuannya sama-sama dilandasi semangat keagamaan.[3]
B.     Dasar hukum

Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibdah wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah. Namun secara umum tidak terdapat ayat Al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman Al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabillah. Di antara ayat-ayat tersebut ayat 261 surat al-Baqarah:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”

Namun ajaran ini dipertegas oleh beberapa hadist yang menyinggung masalah itu, yaitu Hadist yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “ apabila manusia meninggal, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya.

Menurut Sayyid Sabiq, maksud sedekah jariah adalah wakaf. Makna hadist tersebut adalah pahala tak lagi mengalir kepada si mayit kecuali tiga perkara yang berasal dari usahanya di atas. [4] Dan ada juga riwayat yang lain yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.[5]
 
C.    Bentuk-bentuk Wakaf

Jenis harta benda wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf terdiri dari : benda tidak bergerak; benda bergerak selain uang; benda bergerak berupa uang.
Benda tidak bergerak yang dimaksud dalam Undang-Undang wakaf dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
2.      Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah sebagaimana  yang dimaksud pada huruf a
3.      Tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah
4.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
5.      Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan
Benda bergerak selain uang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang.
2.      Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.
3.      Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediannya berkelanjutan.
4.      Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syariah.
Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi: kapal, pesawat terbang, kendaraan bermotor, mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan, logam dan batu mulia, dan benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang.
Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut:
a.       Surat berharga yang berupa: saham, surat utang negara,obligasi dan surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang
b.      Hak atas kekayaan intelektual yang berupa: hak ciptam hak merk, hak paten, hak desain industri dan lain-lainnya.
c.       Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa hak sewa dan perikatan.

Wakaf sudah dipraktekkan baik dalam bentuknya yang masih tradisional / konvensional, dalam arti bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqf). Bahkan wakaf tunai ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad dua hijriyah. M. Syafii Antonio yang mengutip hadist yang diriwayatkan oelh Imam Bukhari, menjelaskan bahwa Imam Az-Zuhri salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadist (tadwin al-hadist) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[6]

Dari sini kemudian muncullah berbagai analisis tentang pentingnya wakaf tunai yang dewasa ini digalakkan di beberapa negara Islam. Setidaknya ada empat manfaat utama dari wakaf uang:
1.      Wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas pun bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah (hartawan) terlebih dahulu.
2.      Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
3.      Dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
4.      Umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu bergantung pada anggaran pendidikan negara yang semakin lama semakin terbatas.[7]

D.    Badan wakaf Indonesia (BWI)

Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 47, adalah memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M Tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 juli 2007. Namun, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.
1.      Tugas dan Wewenang BWI
BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
Ø  Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
Ø  Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
Ø  Memberikan persetujuan dan/atau izin perubahan dan peruntukan status harta benda wakaf.
Ø  Memberhentikan dan mengganti nazhir.
Ø  Memberikan persetujuan atas pertukaran harta benda wakaf.
Ø  Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan dan kebijaksanaan di bidang perwakafan.

Dalam melaksanakan tugas-tugas itu BWI memerhatikan saran dan pertimbangan menteri dan majelis ulama indonesia, seperti tercermin dalam pasal 50. Terkait dengan tugas daslam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana disebutka dalam PP No. 4/2006 pasal 53, meliputi:
Ø  Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum.
Ø  Penyusunan dan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf.
Ø  Penyedian fasilitas proses sertifikasi wakaf.
Ø  Penyiapan dan pengadaan blangko-blangko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak.
Ø  Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada nazhir sesuai dengan lingkupnya.
Ø  Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.

2.      Strategi BWI
Adapun strategi yang digunakan oleh Badan Wakaf Indonesia ( BWI )
Ø  Menigkatkan kompetensi dan jaringan badan wakaf indonesia, baik nasional maupun internasional.
Ø  Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan.
Ø  Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf.
Ø  Meningkatkan keprofesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf.
Ø  Mengoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf.
Ø  Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
Ø  Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional.[8]

E.     Wakaf Tunai

1. Pengertian Wakaf Tunai

Wakaf adalah penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 41 tentang wakaf Pasal (1) mendefinisikan wakaf  adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu terntentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Definisi menurut undang-undang ini telah mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf, termasuk adalah wakaf uang. Demikian juga diakomudir tentang wakaf dalam jangka waktu terntu, meskipun wakaf seperti ini tidak banyak dibahas oleh para ulama fiqh salaf. Secara sepesifik, undang-undang tentang wakaf memuat bagian yang mengatur wakaf uang. Di berbagai negara, harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Penggunaan wakaf uang telah lama dikenal dalam pemerintahan Islam. M.A. Mannan dalam bukunya menyebutkan bahwa penggunaan wakaf uang  telah ada semenjak  zaman Pemerintahan  Utsmaniyah. Penggunaan wakaf uang  juga dikenal pada masa kekhalifahan Ottoman. Di Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut.
1.      Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2.      Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3.      Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4.      Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5.      Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.[9]

2. Sejarah Wakaf Tunai
            Praktik wakaf telah dikenal sejak awal islam. Bahkan masyarakat sebelum islam telah mempraktikkan sejenis wakaf, tetapi dengan nama lain, bukan wakaf.karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum islam. Sedangkan wakaf tunai mulai di kenal pada masaa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Wakaf uang juga dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada masa itu, perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf uang. Tahun 1178, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi madhab Sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandaria itu membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang. Namun lazimnya, bea cukai dibayar dalam bentuk uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ dan para keturunannya.

Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyyah juga memanfaatkan wakaf untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu madhab Sunni, dan mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta milik negara yang berada di baitul mal sebagai modal untuk diwakafkan demi perkembangan madhab Sunni untuk menggantikan madhab Syi’ah yang di bawah dinasti sebelumnya, yaitu Fatimiyah.

Salahuddin al-Ayyubi juga banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’i, madrasah madhab Maliki, dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil. Hukum mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan salahuddin al-Ayyubi adalah boleh. Penguasa sebelum Salahuddin,              

Nuruddin asy-Syahid mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta milik negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz). Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara.[10]
3. Potensi Wakaf Uang di Indonesia

Wakaf uang lebih fleksibel dan manjadi pendorong terhadap wakaf benda tidak bergerak agar lebih produktif. Indonesia memiliki aset wakaf tanah yang luas yang dapat dikembangkan melalui wakaf uang.

Wakaf uang memudahkan mobilisasi dana dari masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi. Ketiga, wakif tidak perlu menunggu kaya raya atau tuan tanah untuk berwakaf karena uang lebih mudah dibuat pecahannya dan dapat berupa wakaf kolektif.

Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar.
4. Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia

Pengumpulan wakaf uang di Indonesia telah dimulai sejak pencanangan wakaf uang yang telah dideklarasikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada tanggal 8 Januari 2010. Badan wakaf Indonesia berupaya terus mengkampanyekan penghimpunan wakaf uang yang bersekala nasional dan internasional. Sementara wakaf uang ditingkat lokal dan nasional diserahkan kepada lembaga wakaf yang dikelola oleh masyarakat yang sudah lama bergerak dan aktif mengelola wakaf.

Kemudian, Dana wakaf yang terkumpul ini digulirkan dan diinvestasikan oleh nazhir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif. Misalnya pengembangan wakaf uang dalam produk lembaga keuangan syariah atau membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Kemudian, keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan umat dan bangsa secara keseluruhan.

Pengembangan wakaf uang dapat pula dilakukan dengan cara memproduktifkan wakaf tanah yang kekurangan modal untuk pengelolaan dan pengembangannya. Wakaf uang dengan mudah mengembangkan wakaf tanah yang kurang maksimal dalam pengelolaannya, baik di desa atau di kota sesuai dengan potensi ekonominya. Tanah wakaf yang berada di kawasan industri dapat dibangun lahan pertokoan dan perdagangan, di kawasan pemukiman dapat dibangun rumah susun sewa sederhana (rusunawa) yang hasilnya dapat mensubsidi kredit perumahan masyarakat miskin, di daerah wisata yang strategis, dapat dikembangkan dengan cara membangun pusat pelatihan, hotel, rumah sakit dan pusat perdagangan.

Menurut Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Pertama, Wakaf Uang dapat diinvestasi dalam produk Lembaga Keuangan Syariah, khusus wakaf uang dalam jangka waktu tertentu harus diinvestasikan ke Produk Bank syariah. Investasi wakaf uang atas asas bagi untung (mudharabah) atau berdasarkan penyewaan pengelola. 

Wakaf uang diinvestasikan dalam bentuk mudharabah/wadi’ah (deposito) di Bank Islam tertentu atau unit investasi lainnya. Pada saat yang demikian, nazhir wakaf dengan tugas menginvestasikan wakaf uang dan mencari keuntungan dari wakafnya untuk dibagikan  hasilnya kepada orang  yang berhak mendapatkannya (mauquf ‘alaih). Sebagai nazhir, juga bisa memindahkan  investasi uang wakaf dari satu bank Islam ke bank Islam. Akan tetapi, nazhir tidak bisa  mengambil keputusan investasi uang wakaf dengan sendirinya, karena kewenangan dalam menginvestasikan uang wakaf terbatas kepada prosedur dan memilih model investasinya.

Kedua,  bentuk wakaf investasi  banyak dilakukan orang saat ini  dalam membangun proyek wakaf produktif, akan tetapi sebagian tidak ingin menyebutnya sebagai wakaf uang, karena harta telah beralih menjadi barang yang bisa diproduksi dan hasilnya diberikan untuk amal kebaikan umum.

PENUTUP

Secara etimologi, wakaf berasal dari kata waqf, yang bisa bermakna “al-habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Wakaf diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagin harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah adan /dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Jenis harta benda wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf terdiri dari : benda tidak bergerak; benda bergerak selain uang; benda bergerak berupa uang. Ada empat manfaat utama dari wakaf uang:
1.      Wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas pun bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah (hartawan) terlebih dahulu.
2.      Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
3.      Dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
4.      Umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu bergantung pada anggaran pendidikan negara yang semakin lama semakin terbatas.

BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1.      Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
2.      Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
3.      Memberikan persetujuan dan/atau izin perubahan dan peruntukan status harta benda wakaf.
4.      Memberhentikan dan mengganti nazhir. Memberikan persetujuan atas pertukaran harta benda wakaf.




[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabya: Pustaka Progressif, 1997, hal 1576

[2] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Terjemahan: Ahkam al-Waqf Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (jakarta: Ilman Press, 2004, hal.38-61
[3] M.A. Mannan, sertifikat Wakaf Tunai : Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, Jakarta: Ciber dan PKTTI-UI, 2001, hal. 30
[4] Sayyid Sabiq, Terj: Mujahidin Muhayan, Fiqh Sunnah, Jilid IV, (jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008)hal.345

[5] Andrie Soemitra, Bank dan Lembaga keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2010, hal.435
[6] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, cet. IV, Jakarta: Mumtaz Publising, 2007, hal 27.

[7] Menuju era Wakaf Produktif, hal. 28-29
[8] Andrie Soemitra, Bank dan Lembaga keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2010, hal.435
Bwi,com
[10] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, ( Jakarta: Depag, 2007 ), hlm.6-7.
ikhwanmauluddin
ikhwanmauluddin with word and action

Posting Komentar untuk "Wakaf : Suatu Pengantar"